marinir AS menyerbu pantai incheon
Perang Korea dari 25 Juni 1950 sampai 27
Juli 1953 adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Perang ini sering disebut sebagai proxy warantara Amerika Serikat
dan sekutunya dari Blok Barat dengan Komunis Republik Rakyat China dan Uni
Soviet dari Blok Timur.
Semenanjung Korea mulanya diduduki oleh
Jepang sejak 1905 setelah Perang Rusia-Jepang. Selama Perang Dunia II,
tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan
perang. Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui oleh
negara kekuatan dunia pada akhir perang. Pada Konferensi Postdam (Juli –
Agustus 1945), sekutu secara sepihak memutuskan membagi wilayah Korea menjadi
dua, tanpa persetujuan pihak Korea. Korea dibagi menjadi dua di garis lintang
38 derajat, dengan wilayah utara di bawah penguasaan Uni Soviet dan RRC dan
wilayah selatan di bawah penguasaan Amerika Serikat dan sekutunya.
Dengan alasan membalas provokasi Korea
Selatan, Tentara Korea Utara (tentara Korut) menyebrangi paralel ke-38, dibantu
tembakan artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni 1950. Beberapa jam kemudian
kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara
terhadap Republik Korea, melalui Resolusi 82 DK PBB. Setelah memperdebatkan
masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang
merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik
Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accomplidari dewan kepada
PBB, Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi
bersenjata atas nama Korea Selatan.
Korea Utara memulai "Perang
Pembebasan Tanah Air" dengan melakukan invasi darat dan udara dengan
231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek dan wilayah sesuai dengan yang
direncanakan seperti Kaesŏng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka
dapatkan setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110
pesawat pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat
mata-mata.
Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara
Korut memiliki 114 pesawat tempur, 78 pesawat pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000
pasukan yang berpangkalan di Korea Utara. Di laut, meskipun hanya terdiri dari
beberapa kapal perang kecil, juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara
keduanya.
Di pihak lain, tentara Korea Selatan
masih belum siap. Pada South to the Naktong, North to the Yalu (1998),
R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan
tempur yang rendah pada 25 Juni 1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki
98.000 tentara (65.000 tentara tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak
memiliki tank, dan 22 pesawat yang terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan
10 pesawat latihan AT6. Selain itu tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di
Korea saat itu - meskipun terdapat pangkalan AS di Jepang.
Presiden Amerika Serikat, Harry S.
Truman memerintahkan Jenderal MacArthur mengirim material kepada tentara
Republik Korea dan memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara
Amerika Serikat atas rekomendasi Menteri Luar Negeri Dean Acheson. Akan tetapi,
Truman menolak mengebom Korea Utara secara langsung. Selain itu, Truman juga
memerintahkan Armada ke-7 AS untuk melindungi Taiwan, yang meminta untuk ikut
bertempur di Korea.
Dalam keputusasaan di Pertempuran
Perimeter Pusan (Agustus-September 1950), Angkatan Darat Amerika Serikat
menahan serangan tentara Korut yang bermaksud merebut kota. Di saat yang sama,
garnisiun AS di Jepang terus-menerus mengirim tentara dan bahan untuk
memperkuat Perimeter Pusan. Untuk membantu pertahanan di Perimeter Pusan,
Jenderal MacArthur merekomendasikan sebuah pendaratan amfibi di Incheon, di
belakang garis pertahanan Korut. Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB
mendorong tentara Korut hingga ke Utara, melewati paralel ke-38, Republik Korea
kemudian mengejar mereka masuk ke wilayah Korea Utara.
Tanggal 4 Agustus 1950, Mao Zedong
melapor kepada Politbiro bahwa ia akan melakukan intervensi bila Tentara
Relawan Rakyat (PVA) sudah siap untuk dimobilisasi. Peperangan tentara
PBB dan China terus berlanjut, namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak
berubah dan terjadi kebuntuan. Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus
berlangsung, perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951 di
Kaesong.
Negosiasi gencatan senjata berlanjut
selama dua tahun, di Kaesong (Korea Utara bagian Selatan), kemudian di
Panmunjon (perbatasan kedua Korea). Problem utama dari negosiasi ketika
itu adalah repatriasi tawanan perang. China, Korea Utara, dan tentara PBB
tidak bisa membuat kesepakatan karena banyak tentara China dan Korea Utara yang
menolak kembali ke Utara. Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir,
sebuah Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah
tersebut.
Pada 27 Juli 1953, Amerika Serikat,
Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan
senjata.Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun
berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi,
perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar