Sabtu, 01 Februari 2014

Pokok-pokok Gerilya (Fundamentals of Guerrilla Warfare)


Referensi :
"Pokok-pokok Gerilya (Fundamentals of Guerrilla Warfare) - Dan Pertahanan Republik Indonesia Di Masa Yang Lalu Dan Masa Yang Akan Datang", Jenderal Besar DR. A.H. Nasution, penyunting Kol. Caj. Dra. Nasikhah M., A. Yogaswara, Cet. I - Yogyakarta, Penerbit : NARASI.

Semoga bisa menjadi referensi bagi kita semua mengenai tulisan Pak Nasution mengenai perang gerilya.

POKOK-POKOK GERILYA


I.POKOK-POKOK GERILYA

1. Peperangan abad ini adalah perang rakyat semesta
Dalam peperangan bukan hanya kedua belah pihak angkatan bersenjata yang berperang. Peperangan telah menjadi lebih luas dan lebih dalam, antara lain pula karena kemajuan teknik. Peperangan dewasa ini meminta sifat yang semesta, seantero rakyat baik harta dan tenaganya tersedia untuk diolah, untuk mencapai kemenangan. Semua sumber-sumber yang tersedia harus dipergunakan. Untuk mengalahkan bangsa lawan, bukan saja harus dibinasakan angkatan bersenjatanya, melainkan harus demikian pula semua susunan dan lembaga politik dan sosial ekonominya. Perang dewasa ini, bergolak sekaligus di sektor militer, politik, psikologis, dan sosial-ekonomis. Maka sifat serangan adalah semesta, demikian pula yang diserang menggunakan pertahanan rakyat semesta.

Angkatan bersenjata tidak dapat menyelamatkan kemenangan perang jika front politik, ekonomi, sosial dan psikologis tidak cukup kuat buat menunjangnya dan mengimbangi malah melebihi musuh. Maka pimpinan perang bukan cuma pimpinan militer, melainkan pimpinan pergolakan rakyat yang total. Akan tetapi janglah disalahartikan, bahwa perang itu tidak lagi ditentukan oleh hasil pertarungan kedua angkatan bersenjata. Sesungguhnya kekalahan musuh baru terjadi, kalau angkatan perangnya kalah. Akan tetapi buat kemenangan angkatan perang itu adalah syarat mutlak keteguhan front politik, psikologis, sosial dan ekonomis. Maka seantero lapangan kehidupan rakyat turut dalam pergolakan, dalam hubungan perang yang semesta.
Usaha perang bukanlah cuma usaha angkatan perang saja, melainkan telah menjadi usaha rakyat semesta dipelbagai sektor kehidupannya, yang masing-masing ikut serta dalam usaha yang seluruhnya, yang tak dapat lalai melalaikan lagi. Maka si penyerang mengadakan perang kilat untuk memecah-mecah organisasi lawan, sebelum ia mampu mengerahkan segenap tenaga dan harta rakyatnya buat pertahanan yang semesta. Maka negara-negara yang melalaikan persiapan-persiapan perangnya, adalah yang menjadi mangsa perang yang demikian, sehingga terlambat membangkitkan pertahanan rakyat semestanya. Ini adalah suatu bahaya bagi negara-negara demokrasi, yang dengan sendirinya lazim menjadi yang terserang sehingga ia ketinggalan waktu dalam pengerahan pertahanannya.

Maka dalam perang kemerdekaan Indonesia yang kita alami sendiri Belanda telah melancarkan serangan semesta pula terhadap Republik dan kita telah membalasnya dengan perlawanan rakyat yang semesta. Belanda telah mengolah maksimum kemampuan perang dari rakyatnya yang 10 juta, dan mengerahkan suatu angkatan perang seperti belum pernah sebelumnya. Belanda telah mengadakan ganti-mengganti dan bareng-membarengi ofensif politik, ofensif psikologis, ofensif militer, dan ofensif ekonomi.

Gerakan politiknya menghasilkan kota-kota di Jawa dan Sumatera dengan gencatan senjata serta “Linggarjati” 1947, yang memberi tempo dan ruangan buat mendatangkan dan menyusun tentara penyerbuannya. Gerakan militernya yang pertama membulatkan daerah-daerah tiap suku bangsa untuk menjadi negara-negara bagian buat pengepungan dan pengecilan arti Republik, sambil merebut daerah-daerah padi, daerah-daerah perkebunan, pelabuhan-pelabuhan, dan perhubungan-perhubungan. Gerakan politik “Renville” menghasilkan pengosongan kantong-kantong yang tak dapat dicapai oleh aksi militernya. Gerakan psikologis terus memecah-mecah front dalam negeri kita dengan pertengkaran dan provokasi yang tak habis-habisnya. Blokadenya melaparkan dan mengeringkan daerah-daerah Republik.

Maka kita pun pada pokoknya telah mengolah pertahanan rakyat semesta, walaupun tidak serapi cara lawan kita yang mempunyai organisasi yang jitu. Banyak kekurangan kita karena tiadanya koordinasi militer dan politik, tiadanya ketegasan siasat, sehingga musuh dapat kesempatan untuk mengalahkan kita sektor demi sektor dan taraf demi taraf, walaupun pada permulaannya posisi kita, baik politik dan militer, maupun psikologis, dan sosial-ekonomis, jauh lebih kuat, karena semua syarat ada pada kita. Belanda dapat masuk hanya dengan membonceng pada Inggris-Australia dan mula-mula hanya dapat berkuasa dalam kamp-kamp kawat berduri, sedangkan revolusi rakyat telah menguasai de facto hampir seluruh Indonesia, dan senjata-senjata Jepang yang kita rebut cukup buat beberapa divisi, sambil semua alat-alat produksi kita kuasai.

Maka dengan demikian pada umumnya pertahanan rakyat semesta kita itu adalah baru pada semboyan saja, belumlahh suatu usaha yang nyata. Demikian pula pertahanan rakyat semesta kita itu bukanlah keistimewaan kita, karena lawan kita pun dan lain-lain bangsa berbuat demikian, bangsa yang kecil maupun bangsa yang besar, yang berkehendak hati untuk menyelematkan kemerdekaan dan kedaulatannya terhadap lawan yang melanggar.

Rakyatlah yang berperang, dan bukan cuma angkatan bersenjata. Rakyatlah yang memaklumkan perang dan menentukan damai dan yang melahirkan angkatan bersenjatanya. Kaum militer haruslah senantiasa mengingat akan hal ini, ia adalah ujung tombak dari rakyat itu, yang diarahkan oleh rakyat itu pula.

Maka karena itu pulalah tentara-tentara di masa ini adalah tentara rakyat belaka, yakni bukan lagi suatu kaum yang terpisah dan tersendiri. Rakyat sendiri berlatih dan dari rakyat itu sendiri dikeluarkan dan diutuslah putra-putra buat memanggul senjata, kalau rakyat itu menggap perlu untuk berperang. Kepada rakyat itulah putra-putra itu kembali, jika perang selesai. Rakyat memobilisir putra-putranya untuk bertempur, rakyat kemudian mendemobilisir, memulihkannya lagi sehabis perang.

Buat ketertibannya oleh rakyat itu diatur milisi, dengan kewajiban milisi. Dan dalam kesemestaan perang itu diadakan pula kewajiban berlatih, buat lain lapangan juga kewajiban sipil dan pelbagai keharusan yang khusus.



2. Perang gerilya adalah perang si kecil/ si lemah melawan si besar/si kuat.
Jika suatu bangsa diserang dari luar, maka ia berusaha membela diri. Membela diri tidak berarti menangkis saja, menghindari diri daripada pukulan-pukulan, bukan, karena dengan demikian cuma secara pasif, musuh yang menyerang masih tetap kuat dan mampu untuk terus sepanjang masa menyerang. Membela diri itu harus berarti meniadakan ancaman dan pukulan selanjutnya, jadi untuk itu si penyerang dihancurkan, pokoknya dikalahkan.
Bangsa-bangsa yang demokratis pada lazimnya terpaksa berperang karena ia diserang, bukan ia yang mulai. Jika ia mempunyai angkatan bersenjata yang setara dengan agresor, artinya mempunyai organisasi atau kemampuan bertempur yang setara, maka dapatlah ia membela diri dalam suatu perang yang biasa. Biasanya si penyerang berkesempatan mendahului dalam hal, persiapan sehingga ia datang dengan jumlah (kekuatan) yang lebih besar dan di tempat-tempat dan saat-saat yang kurang penjagaan, sehingga ia mendapat terus kemajuan pada tingkatan-tingkatan yang pertama.

Sebaliknya si terserang ketinggalan wsaktu, dan ia berusaha memburu waktu yang ketinggalan itu. Ia berikhtiar menahan lawan selama munggkin dengan mundur berangsur-angsur, sehingga baginya cukup waktu dan ruangan untuk mengerahkan dan menyusun tenaga yang cukup kuatnya (jumlahnya) untuk membalas dengan serangan kembali. Jadi selama sebelum tercapai tingkatan itu ia terus melakukan defensif, membela diri, dengan mengelakkan pukulan-pukulan musuh, samai pada saat dan tempatnya, di mana ia telah cukup mengerahkan jumlah-jumlah (kekuatan) buat beralih kepada ofensif, kepada penyerangan. Karena akhirnya dengan ofensif, dengan menyerang inilah musuh dapat dikalahkan, artinya dibinasakan atau dihantam sedemikian sehingga ia putus harapan dan mengalah saja.

Akan tetapi waktu kita diserang oleh Belanda di tahun 1947, 1948, 1949 kita tak dapat berbuat demikian. Dalam tempo yang singkat musuh merebut semua kota yang penting dan jalan-jalan yang utama. Dan kita tidak mengumpulkan jumlah pasukan yang cukup untuk membalikkan arah serangan ke Jakarta dan memaksa Belanda bertekuk lutut, mengalah dengan tiada bersyarat. Bahwa ia akhirnya bersedia menarik tentaranya dari Indonesia, bukanlah karena dikalahkan oleh tentara kita, melainkan cuma karena dilelahkan dan dibuntukan oleh kita, sehingga tak ada harapannya lagi buat meniadakan Republik. Dalam kebuntuan ikhtiarnya itu maka oleh tekanan iternasional dipercepatlah penyerahan kedaulatan itu.

Sesungguhnya TNI kita tidak setara dengan Belanda. Betul pada tahun 1945 banyak pemuda kita yang telah berlatih, di Jawa saja ada 60 batalyon Peta; betul kita rebut persenjataan dari Jepang cukup untuk beberapa divisi, namun kita tidak mampu mengorganisir tentara yang setara, bukan saja karena kurang waktu dan apalagi kurang keahlian melainkan lebih-lebih karena strategi nasional kita terlalu mengabaikan faktor-faktor strategi militer. Maka Belanda telah mampu 1½ tahun kemudian mengerahkan 130.000 tentara yang modern yang tak dapat kita imbangi, walaupun jumlah tenaga kita beberapa kali lebih besar daripada mereka. Kita terpaksa menghadapkan pasukan-pasukan yang tidak setara, yakni infanteri yang sangat sederhan, yang hanya mampu bertempur sebagai seksi atau kompi. Senjata berat kita telah hilang atau habis dalam pertempuran-pertempuran di kota-kota besar dan di pinggir-pinggirnya, pada waktu sebelum mulai peperangan yang sebenarnya.

Akan tetapi ini hanya kupasan dari kemudian; pada saat-saat itu mungkin pemerintah kita tak mengetahui persis jumlah peralatan yang kita oper, karena kita di daerah bertindak sendiri-sendiril. Pada saat itu sangat sulit bagi markas besar untuk menguasai kesatuan-kesatuan dan daerah-daerah yang mempertahankan “kedaulatan” masing-masing. Maka karena itu semua terpaksalah pertumbuhan tentara diserahkan dengan leluasa kepada keadaan dan perbandingan-perbandingan setempat, jadi tiada dengan suatu rencana pembangunan yang tertentu atas dasar renaca siasat yang tertentu pula, yang memanfaatkan tempo, tenaga dan senjata seefektif-efektifnya.

Maka oleh karena itu kita tak mampu menghadapkan tentara yang agak setara, sehingga kita harus melakukan semata-mata perang gerilya, tidak seperti misalnya di Tiongkok dan Vietnam, di mana di samping gerilya telah beraksi organisasi resimen-resimen dan divisi-divisi yang berangsur-angsur dapat jadi tenaga penggempur yang akhirnya merebut kota, sambil semakin mengusir musuh. Maka kita berperang gerilya bukanlah karena kita diharuskan, karena telah tidak mampu menyusun kekuatan yang berorganisasi sekadar modern, yang setara. Maka gerilya kita pun baru pada tingkatan melelahkan musuh, belum sampai dapat menghancurkannya walaupun bagian demi bagian.

Maka karena itu pula, mungkin tiadalah pimpinan negara mempercayakan penyelesaian sepenuhnya kepada tenaga militer, melainkan senantiasa memilih cara politik, yang mencari persesuaian dengan musuh, dengan mengancam bayangan momok perang gerilya serta bumi hangus dan tekanan politik internasional.

Lain jadinya dengan sejarah gerakan merah di Tiongkok dan perang Viet-Minh di Indo Cina, di mana dengan tiada kompromis dilakukan perang buat mengalahkan musuh, di mana divisi-divisi berangsur-angsur tersusun untuk setaraf demi setaraf mengusir musuhnya.



3. Perang gerilya tidak dapat secara sendiri membawa kemenangan terakhir. Perang gerilya hanyalah untuk memeras darah musuh. Kemenangan terakhir hanyalah dapat dengan tentara yang teratur dalam perang yang biasa, karena hanya tentara demikianlah yang dapat melakukan ofensif dan hanya ofensiflah yang dapat menaklukan musuh.

Pokok-pokok perang menyatakan dengan tegas bahwa hanya dengan ofensif musuh dapat dikalahkan, karena hanya dengan menyerang ia dapat dimusnahkan. Napoleon berkata “Janganlah berdefensif, kecuali jika tiada lagi jalan lain. Jika kamu terpaksa menjalani cara ini, maka haruslah disadari betul-betul, bahwa dengan demikian adalah hanya agar ada waktu utnuk memusatkan cadangan-cadangan, dan agar dapat memancing musuh jauh dari pangkalan operasinya, dengan tujuan yang tak berubah-ubah, yakni agar pada suatu saat dapat mengadakan ofensif terhadapnya.”

Demikianlah tentara ekspedisi Inggris bersama gerilya-gerilya Spanyol mengalahkan tentara Napoleon di negeri Spanyol. Begitu pula gerilya-gerilya Rusia di belakang garis front musuhnya membantu operasi-operasi Tentara Merah yang akhirnya dapat memukul Jerman kembali. Kemenangan Merah di Stalingrad yang sangat terkenal itu adalah pula karena berkat bantuan kaum gerilya di belakang garis-garis pertahanan Jerman. Lalu lintasnya tidak aman, jembatan-jembatan dirusak, kawat-kawat diputus-putus, konvoi-konvoi ditembaki, pos-pos penjagaan dihantam pada malam hari, pasukan-pasukan kecil dihadang, dan sebagainya. Gerakan-gerakan gerilya itu sangat melelahkan dan melemahkan tentara penyerbu.

Di Tiongkok Utara tentara penyerbu Jepang menghadapi gangguan-gangguan gerilya yang sama. Rel-rel kereta api selalu terbongkar, iring-iringan kendaran ditembaki dan dirintangi dengan ranjau-ranjau peledak, pos-pos penjagaan dihancurkan, patroli-patroli dihadang, bangunan-bangunan yang dipakainya diledakkan atau dibakar dan sebagainya, sampai markas-markas Jepang dihancurkan dengan dinamit. Kawat-kawat telepon selalu hilang, digulung dan disembunyikan oleh gerilya, tiang-tiang dibakari. Sedemikian hebat hasil-hasil gerakan gerilya, bahwa tak mungkin pasukan Jepang bergerak pada siang hari, kalau kurang dari satu resimen dan segala gerakan malam hari praktis terhalang sama sekali.

Baik di Spanyol, maupun di Rusia dan Tiongkok, maka gerakan-gerakan gerilya ini tiadalah asal menggerilya saja. Gerakan-gerakan ini adalah untuk membantu operasi-operasi dari tentara yang teratur, induk tenaga perlawanan. Maka oleh karena itu gerakan-gerakan gerilya ini tidaklah terlepas sendiri-sendiri, melainkan adalah berlangsung menurut kebutuhan operasi tentara itu, jadi yang dikoordinir sepenuhnya, walaupun tindakan-tindakannya secara merdeka. Bergerak terpisah, akan tetapi sama-sama menggempur yang satu untuk siasat.

Lain halnya kalau kita yang diserang itu tak mampu menghadapkan tentara yang setara organisasinya, seperti yang kita alami selam perang kemerdekaan kita yang baru lalu. Belanda menyerang di Sumatera dengan 3 brigade dan di Jawa dengan 3 divisi yang modern. Betul kita mempunyai divisi-divisi dan brigade-brigade yang berlipat ganda jumlahnya, akan tetapi kesatuan-kesatuan ini hanya namanya yang divisi dan brigade, isinya, organisasinya adalah bukan. Maka kita tak dapat mengadakan perlawanan dengan front-front yang agak tetap, kita terpaksa membiarkan musuh menduduki semua kota-kota dan jalan-jalan raya, pendeknya meluaskan musuh bergerak ke mana saja yang ia inginkan. Sesuai dengan ejekan-ejekan kepada markas besar kita MBKD (Markas Besar Komando Djawa) dewasa itu, sebagai “Markas Belanda Keliling Djawa”. Sesuai pula dengan kritik-kritik para politisi kepada kita dewasa itu, bahwa kita tak mampu mempertahankan ibukota Yogyakarta. Dalam keadaan demikian seuluruh wilayah, resminya dalam istilah biasa, telah diduduki oleh musuh, sehingga dinyatakan oleh Jenderal Spoor pada saat menginjak ambang pintu 1949:”......operasi-operasi telah selesai, seterusnya kita hanya akan melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa, yang akan makan tempo 2 – 3 bulan lagi.......”.

Sebagai pihak si kecil, kita harus melakukan perang gerilya yang luas. Dengan adanya operasi “Wingate” kita maka kita menyusup ke semua penjuru, sehingga dari pantai Banten sampai pantai Besuki menjadi satu gabungan dari beratus-ratus medan perang gerilya yang hangat. Sehingga Belanda harus memancarkan divisi-divisinya menjadi beratus-ratus detasemen penjagaan yang statis, sehingga Belanda buntu dalam gerakannya untuk meniadakan Republik Indonesia dan TNI, untuk menguasai seluruh pulau, untuk menegakkan pemerintahan federalnya, untuk memulai pembangunan ekonommi dan sebagainya, singkatnya sehingga ia buntu sama sekali dan akhirnya melepaskan tujuannya yang semula.

Dalam hal ini gerilya bukan membantu tentara yang reguler seperti dalam contoh-contoh yang tadi. Gerilya di sini adalah induk tenaga perang kita. Suatu gerilya yang semesta dengan politik non-koperasi serta politik bumi hangus, yang mampu membuntukan perang kolonial musuh. Saya sebut membuntukan, karena gerilyakita itu tidaklah mengalahkan musuh dalam arti membinasakan atau mengenyahkannya dari bumi Indonesia. Kita cuma menggagalkan usahanya. Dalam istilah perang baisa kita tidak mengalahkannya.

Kita cuma membela diri, kita cuma defensif, yang kita lakukan dengan perang gerilya yang sedemikian, sehingga buntu usahanya. Dalam defensif, yang seperti kata Napoleon, karena terpaksa belaka. Buntu usaha musuh karena kita pada waktunya mengosongkan kota-kota dan membangun kantong-kantong, di mana organisasi sipil dan militer tetap utuh; kita menghindarkan diri dari penghancuran olehnya. Kita menjalankan politik non-koperasi yang tegas, sehingga tak dapat ia membangun pemerintahan yang dapat tegak sendiri, karena cuma sejumlah kecil pengkhianat-pengkhianat yang tidak dihormati oleh rakyat, yang berkolaborasi dengan dia. Kita melakukan politik bumi hangus, sehingga gagal pembangunan ekonominya. Kemudian dari pada itu kita mengganggunya sebanyak mungkin melelahkannya dengan penghadangan-penghadangan, pengacauan-pengacauan, penyusupan-penyusupan dan sebagainya. Walaupun tindakan-tindakan ini sangat agresif, namun kita tetap dalam defensif, kita tetap dalam membela diri. Tidak mampu kita merebut kota-kota distrik pun dan tidak mampu kita mempertahankannya lama-lama terhadap serangan musuh. Kita membiarkan musuh “keliling Jawa”. Tidak mampu kita menghancurkan pos-pos musuh yang terpencil maupun konvoi-konvoinya yang lewat.

Bahwa musuh akhirnya mengalah, bersedia mengakui dan mengembalikan segala sesuatu kepada Republik dan TNI-nya, bersedia menyerahkan kedaulatan dengan beberapa kompromis dan bersedia mmenarik mundur tentaranya, ini semua dipercepat oleh gerakan politik atas tekanan internasional, sehingga tak perlu kita lakukan perang gerilya yang lama, yang pada suatu taraf harus mempunyai tentara reguler yang mampu berofensif.
Oleh karena itu tidak boleh ada pertempuran yang percuma belaka, yang hanya memukul atau mengganggu musuh, apalagi yang berarti pengorbanan sebagian dari kekuatan gerilya. Si gerilya harus hemat sekali dengan tenaga. Kehilangan 1 senapan mesin bagi si gerilya lebih berarti daripada bagi si lawan yang besar, sama saja dengan arti satu rupiah bagi si miskin lebih berarti bagi si kaya. Oleh karena itulah maka gerilya tak boleh bertempur asal berani-beranian saja, seperti yang sering dianjurkan oleh pimpinan-pimpinan dan propaganda kita di masa-masa yang lalu, yakni “jangan mengenal mundur, terus menyerang, terus menggempur”. Dengan cara-cara demikian kita telah kehilangan perpuluh-puluh ribu senjata dengan pelurunya dalam pertempuran di kota-kota besar dan di pinggirnya, apalagi kehilangan hampir semua peralatan besar dan segala sesuatunya sebelum mulai peperangan yang sebenarnya.



4. Perang gerilya biasanya adalah perang ideologi. Perang gerilya adalah perang rakyat semesta. 

Dalam contoh yang ketiga ini, maka perang gerilya adalah induk tenaga perang seluruhnya, bukan cuma buat membantu seperti dalam contoh-contoh yang lain. Maka jelaslah pula bahwa perang sedemikian memerlukan waktu yang jauh lebih lama dan meminta penderitaan dan pemerasan tenaga yang jauh lebih luas dan berat. Memang perang gerilya bukanlah yang tergampang dan terenteng melainkan sebaliknya. Perang gerilya meminta ketabahan dan kesanggupan yang jauh lebih berat.

Maka sejarah-sejarah perang gerilya cukup jelas menunjukkan betapa luasnya kerusakan-kerusakan jasmani dan rohani yang diakibatkan. Kebiasaan bergerilya membawa kebiasaan menyampingkan ukuran-ukuran hukum dan adat-istiadat yang lazim. Kebiasaan bergerak di bawah tanah mengacaukan pendudukan musuh, membumihangus, melakukan sabotase, berhakim sendiri dan sebagainya, yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecil atau juga oleh perseorangan, dengan tidak dalam hubungan organisasi yang lazim serta tidak menurut garis-garis hukum yang lazim.
Kerusakan-kerusakan lahir dan batin yang diakibatkannya sedemikian berat, sehingga ternyata di negara-negara yang telah berperang gerilya, diperlukan berpuluh-puluh tahun lagi buat memperbaiki, sehingga masih lama terus berkecamuk kekacauan-kekacauan di segala lapangan. Daerah-daerah gerilya di Asia Tenggara dari masa perang yang baru lalu, yakni perang ideologi, penjajahan kontra kemerdekaan dengan ditumpangi ileh anasir-anasir perang dingin antara Barat dengan Timur. Perang gerilya Indonesia tidak terhenti sesudah penarikan tentara Belanda, ia melanjut sebagai perang saudara yang tidak kurang hangatnya.

Ideologi, semangat kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Kesanggupan untuk menyalakan peperangan rakyat yang semesta, yang cuma bermodal senjata pada api perjuangan yang menyala dalam tiap sanubari. Lazim gerilya timbul dari gerakan massa berontak. Gerakkan massa meningkat kepada perang gerilya, yang terus meningkat kepada perang biasa. Demikianlah biasanya lahir dan tumbuhnya gerilya di atas haribaan rakyat yang tertindas dan terjajah. Atau si gerilya tumbuh dari sisa-sisa tentara dan inti-inti rakyat yang diduduki oleh musuh penyerbu yang hendak menindas dan menjajah.
Maka hanya ideologi yang kuat hanya batin yang teguh, yang dapat meledakkan perang gerilya yang cukup tabah buat menempuh jalan penderitaan yang panjang dan sulit sampai pada tingkatan mengalahkan musuh yang kuasa. Hanya kesadaran yang suci yang dapat mengikat para gerilya, yang datang memanggul senjata, semata-mata atas panggilan hati sanubari sendiri, di mana para gerilya cukup kesempatan buat menarik diri atau memisah kapan-kapan saja. Kita telah alami dua kali perang gerilya kemerdekaan kita, betapa banyaknya pseudo-pejuang yang berdiam diri di kota-kota pendudukan, bersembunyi mengungsi di kampung-kampung, malah menyerah untuk dilindungi musuh, walaupun dalam masa damai berteriak sebagai patriot dan revolusioner yang paling ulung. Mereka masih berkeliaran, dan masih selamat berkedudukan di sekeliling kita. Mereka tidak cukup kekuatan batin buat mengambil bagian dalam perang gerilya, yang meminta kesadaran ideologi dan keteguhan jiwa yang memang sebesar-besarnya.

Maka pemerintahan-pemerintahan yang tidak didukung oleh rakyat, pemerintahan yang tidak beakar dalam ideologi rakyat, tidak dapat mengharapkan kesanggupan rakyat untuk bergerilya, jika negara mendapat serangan. Rakyat akan bersikap apatis, atau rakyat akan menjalankan perjuangan sendiri kemudian. Pemerintahan Hindia Belanda dahulu merancang perang gerilya, setelah tentaranya yang teratur kalah, buat mengikat musuh sambil menunggu kedatangan bantuan sekutu-sekutunya. Akan tetapi tiada gerilya itu berlangsung, kecuali di pulau Timur dekat basis Australia, karena seperti kata Jenderal Immamura : “Sebab kekalahan Belanda yang utama adalah karena mereka tidak dapat membuat rakyat Indonesia menjadi sekutunya”. Pemerintah jajahan tak mungkin mengharapkan kesanggupan bergerilya dari rakyatnya yang terjajah. Sebaliknya musuhnya gampang mengaktivir gerilya rakyat itu terhadapnya seperti tahun 1942 di Aceh.

Seperti dinyatakan di atas, maka perjuangan ideologi yang hebatlah yang terutama dan yang lazim membangkitkan perang gerilya. Gerakan membebaskan diri dari belenggu penindas dihina sedemikian, untuk melakukan perlawanan. Maka musuh yang menggerakan tentaranya untuk memadamkan pemberontakan hanya mungkin efektif dilawan dengan cara gerilya, dengan kekerasan. Gerilya sebagai tenaga bersenjata yang kecil dan sederhana yang dibantu, dipelihara dan dilindungi oleh rakyat, sehingga ia mampu mengimbangi tentara musuh yang besar lengkap dan teratur. Api semangat perjuangan yang menyala dalam sanubari baik dari si gerilya, maupun dari rakyat yang jadi induknya, yang memberikan kekuatan untuk menyanggup segala penyerbuan dan ujian yang berat, seperti pemboman-pemboman oleh musuh, tindakan-tindakannya yang kejam, yang membalas kepada sanak saudara, yang membakari, dan yang membengis. Api semangat itu memberikan kesanggupan memikul semua beban yang berat itu, dengan keikhlasan yang tak mungkin kiranya kalu cuma karena paksaan dari luar, seperti paksaan undang-undang dan peraturan negara. Ini semua hanya mungkin karena panggilan yang suci dari kalbu sendiri.

Oleh karena itu anggota-anggota tentara gerilya, yang memperjuangkan ideologi ini, tidaklah mungkin cuma sebagai alat negara yang diperintah memanggul senjata, melainkan sebagai pelopor ideologi ia harus aktif dalam soal-soal ideologis, dalam hal politik. Bagaimana ia akan memelopori ideologi, memperjuangkan tunuan politik-ideologis, jika ia cuma alat yang diperintah, yang harus bisu politik? Ia bukan cuma harus mengetahuinya, melainkan ia harus memeloporinya, mempropagandakannya. Tentara yang cuma selaku alat negara yang diperintah, takkan berkekuatan batin untuk menempuh perang gerilya yang dahsyat.

Justru agar dapat melaksanakan perang gerilya yang sungguh-sungguh bersifat perang rakyat semesta, maka kita dahulu dalam tahun 1948-1949 menyusun pemerintahan gerilya yang totaliter, pemerintah kelurahan, pemerintah militer onderdistrik, pemerintah militer kabupaten, pemerintah militer daerah dan kegubernuran militer, di mana berturut-turut lurah, KODM, KDM, KMD dan Gubernur Militer kecuali selaku komandan pertempuran juga menjadi kepala pemerintahan gerilya yang totaliter dengan bantuan badan-badan sipil sepenuhnya.

Susunan pemerintahan “digerilyakan”, cara-cara pengadilan dan kepolisian, cara-cara pemungutan pajak perjuangan, cara-cara penerangan, kesehatan rakyat, pengajaran, perekonomian, perhubungan dan sebagainya. Dengan “digerilyakan” demikian, maka gagallah musuh meniadakan susunan-susunan negara kita sehingga tak mungkin ia menyusun pemerintahannya, sedangkan di lain pihak roda negara kita terus berputar untuk meladeni kehidupan dan perjuangan rakyat.

Dalam ikatan yang semesta itu dapatlah pimpinan mengerahkan dan menyiasatkan seantero tenaga rakyat untuk satu tujuan. Tapi pula dapatlah ia memelihara syarat mutlak dari perang gerilya, yakni yang harus berpangkalan dalam rakyat. Pemerintahan gerilya kita dengan tenaga-tenaga spesial yang bernama kader-kader teritorial memelihara keutuhan dan kesuburan pangkalan rakyat itu.



5. Akan tetapi perang gerilya tidaklah berarti bahwa seluruh rakyat bertempur.

Seperti dijelaskan tadi si gerilya adalah pelopor perjuangan ideologi rakyat, yang hidup di dalam rakyat. Jika dasar dan akar-akar ideologi itu tak ada, maka tak adalah basis bagi gerilya. Demikianlah si gerilya berakar sepenuhnya dalam haribaan rakyat. Maka karena itulah gerilya dapat menjadi subur. Rakyat adalah sendi bagi gerilya.

Pemimpin-pemimpin kita selalu mengibaratkan gerilya sebagai ikan dan rakyat sebagai air mencontoh kepada pelajaran dari Mao Tse Tung. Maka pemimpin Tiongkok ini pun menjelaskan, bahwa “air” itu harus dipelihara dalam “hawa” politik dan sosial ekonomi yang sewajarnya untuk dapat menyuburkan pertumbuhan gerilya yang “berenang” di dalamnya.

Hubungan dengan rakyat harus dipelihara sebaik-baiknya, tiadalah mungkin si gerilya mempunyai keistimewaan terhadap rakyat, seperti sering terjadi dalam hal pseudo-pejuang yang telah kita kenal dalam sejarah kita.

Memang dengan tegasnya, perang gerilya adalah perang rakyat, gerilya lahir dan tumbuh di atas haribaan rakyat yang berjuang, gerilya berjuang dengan bantuan, pemeliharaan dan perlindungan rakyat pula. Gerilya adalah prajurit rakyat yang sejati.

Akan tetapi tiadalah berarti, bahwa seluruh rakyat harus bergerilya aktif, bergerilya dalam arti yang khusus. Dalam arti yang umum perang gerilya adalah perang rakyat semesta, perang militer, politik, sosial-ekonomi dan psikologis. Buat khusus aktif bergerilya, menghantam musuh dengan serangan-serangan bersenjata dan sabotase maka menurut Lawrence adalah cuma 2% gerilya dan 98% sebaliknya adalah rakyat yang bersimpati, jadi 2% yang bertempur dan 98% yang membantu, 2% yang aktif bergerilya dan 98% yang pasif.

Dalam hal gerilya juga diutamakan kualitas. Gerilya yang tabah, penuh semangat dan yang mahir dalam tugasnya, walaupun kecil jumlahnya, akan lebih bermanfaat dariapda massa yang bersenjata. Dalam Perang Boer di Afrika Selatan, pasukan-pasukan gerilya dapat mengimbangi tentara Inggris yang 30 kali besarnya. Lima sampai enam ribu gerilya merah Malaya dapat mengikat 100.000 tentara dan polisi Inggris. Kita juga mengalami, betapa gerilya RMS dapat mengimbangi TNI dengan bandingan 1 peleton terhadap 1 – 2 batalion. Pula gerilya oleh Batalion 426 mengimbangi setiap kali 8 batalion dari pihak kita, namun ia tak dapat dihancurkan, benar-benar ia telah diburu, tapi kita pun telah memburu.

Dalam sejarah perjuangan kita banyak sekali anjuran “rakyat bersenjata” dan “massa memberontak”. Semboyan-semboyan ini tentu harus diartikan sebagai semboyan, karena kita keliru jika membuat seluruh rakyat jadi gerilya yang aktif yang mana kita tidak mungkin dan pula tidak perlu, apalagi tidak efisien. Pemberontakan-pemberontakan massa yang bersenjata biasanya gagal mempertahankan diri. Memang massa bisa gampang diagitir untuk mengganas beramai-ramai, tapi massa itu gampang pecah-pecah dan kacau-balau, sehingga menjadi sangat sulit untuk dipimpin. Suatu sukses bisa menyalakan semangat massa dengan cepat, tapi suatu kegagalan bisa pula merosotkan dan mematahkan semangatnya sekaligus. Pula massa sangat gampang dikacaukan oleh gerakan desas-desus.

Umumnya pemberontakan-pemberontakan kita yang bersenjata secara massa di kota besar tidak memberikan hasil dalam arti militer. Di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya telah menyala gerakan-gerakan massa bersenjata, dan yang di Surabaya telah menjadi eksplosi yang bersejarah. Akan tetapi di semua tempat itu dalam tempo yang singkat kita terpukul pecah dan terdesak keluar kota. Operasi-operasi musuh yang sistematis dapat berangsur-angsur menguasai keadaan, sedangkan kita terpaksa meninggalkan korban perorangan dan peralatan yang tak terhingga artinya buat penerusan perang gerilya seterusnya. Maka ledakan massa tersebut adalah terutama mempunyai arti psikologis, yang menunjukkan kesanggupan perjuangan kita sebagai bangsa, tapi pula seharusnyalah pimpinan segera mengatuur inti-inti gerilya yang mahir untuk dapat meneruskan perang gerilya yang lama.

Ekses-ekses dari “seluruh rakyat dipersenjatai” telah kita alami. 470.000 anggota-anggota badan-badan perjuangan di daerah aman Republik sesudah Renville yang menjadi beban yang tak terpikul bagi negara yang telah kehilangan “daerah-daerah plusnya” di tengah-tengah blokade Belanda yang rapi. Rakyat desa menderita, karena harus merawat orang-orang perjuangan yang tidak produktif secara “jaminan total”. Korupsi oleh bapak-bapak pemilik pasukan-pasukan menjadi gampang. Nama perjuangan dipakai buat menutupi segala macam kepentingan perseorangan dan golongan. Dan dalam clash ke I dan II kita saksikan betapa berkurangnya jumlah pejuang, akan tetapi jika perang selesai maka jumlahnya membumbung tinggi lagi. Dan masyarakat serta negara bertahun-tahun ini masih terus menderita karena akibat-akibatnya, dan masalah bekas pejuang menjadi sangat sulit. Sulit menentukan jumlah yang sungguh-sungguh bekas pejuang, sehingga mereka yang betul-betul bekas pejuang ini menjadi korban oleh jumlah-jumlah pseudo-pejuang yang berlipat ganda. Kita mengalami, betapa di ibukota Jakarta saja tercatat lebih kurang 70.000 bekas pejuang sesudah penyerahan kedaulatan yang minggu-minggu pertama mengeluh, karena personilnya banyak menggabungkan diri kepada badan perjuangan. Seringkali daerah-daerah kekurangan pemuda untuk pekerjaan-pekerjaan dan ladang, karena mereka telah turut perjuangan.

Maka dalam hal ini “seluruh rakyat dipersenjatai” itu sering kali bukanlah kita lagi yang menggerilya musuh, melainkan musuhlah yang menggerilya kita, karena kita tak dapat mengatur dan menguasai jumlah-jumlah yang besar itu.





Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar