Pertempuran Midway adalah pertempuran laut besar yang dianggap sebagai peristiwa paling penting dalam medan Perang Pasifik Perang Dunia II.Pertempuran terjadi antara 4 Juni dan 7 Juni 1942, sekitar sebulan sesudah Pertempuran Laut Koral dan enam bulan setelah Pengeboman Pearl Harbor. Angkatan Laut Amerika Serikat dengan telak meredam serangan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terhadap Atol Midway, dan mengakibatkan kerugian tidak ternilai dan merebut inisiatif strategis dari Angkatan Laut Jepang.
Serangan
Jepang, seperti halnya serangan ke Pearl Harbor, dimaksudkan untuk melenyapkan
Amerika Serikat sebagai kekuatan strategis di Pasifik, agar Jepang dapat bebas
mendirikan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Pihak Jepang berharap
kekalahan berikutnya akan mendemoralisasi Amerika Serikat hingga dapat dipaksa
bernegosiasi mengakhiri Perang Pasifik dengan syarat-syarat yang menguntungkan
Jepang.
Rencana
Jepang disusun untuk memancing kapal induk Amerika Serikat yang jumlahnya hanya
sedikit hingga masuk ke dalam jebakan.[8] Jepang juga bermaksud menduduki Atol
Midway sebagai bagian dari rencana menyeluruh memperluas garis luar pertahanan
mereka sebagai respons dari Serangan Udara Doolittle. Operasi ini dianggap
sebagai persiapan serangan Jepang selanjutnya ke Fiji dan Samoa. Rencana ini
cacat akibat kesalahan asumsi Jepang tentang reaksi Amerika Serikat dan
pengambilan keputusan yang kurang baik.
Pemecah
kode Amerika berhasil memecahkan sandi Jepang tentang tanggal dan lokasi
serangan, dan memungkinkan Angkatan Laut Amerika Serikat menyusun rencana
penyergapan tiba-tiba. Empat kapal induk dan sebuah kapal penjelajah berat
Jepang tenggelam, sementara pihak Amerika Serikat kehilangan sebuah kapal induk
dan sebuah kapal perusak. Kerugian besar berupa tenggelamnya empat kapal induk
dan tewasnya penerbang dalam jumlah besar melemahkan kekuatan Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang.Jepang tidak mampu lagi menyaingi kecepatan Amerika Serikat
dalam membangun kapal-kapal perang dan melatih penerbang baru.
Sebelumnya,
Jepang dengan cepat berhasil mewujudkan semua sasaran awalnya dalam perang,
termasuk pengambilalihan Filipina, invasi ke Malaya dan Singapura, mengamankan
kawasan sumber daya penting di Pulau Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di
Hindia Belanda. Rencana pendahuluan untuk sasaran fase kedua dimulai pada awal
Januari 1942. Namun, formulasi strategi yang efektif menjadi terhambat akibat
perbedaan strategi antara Angkatan Darat Kekaisaran dan Angkatan Laut
Kekaisaran, dan pertentangan internal antara GHQ dan Armada Gabungan Laksamana
Isoroku Yamamoto. Strategi perang yang berikutnya baru dapat diselesaikan pada
April 1942.Semuanya berkat kemenangan perjuangan birokratis Laksamana Yamamoto
dapat meletakkan konsep operasional yang lebih banyak menekankan kepada
operasi-operasi militer lanjutan di Pasifik Tengah dibandingkan rencana-rencana
lain. Rencana Yamamoto termasuk operasi militer langsung maupun tidak langsung
yang ditujukan ke Australia dan Samudra Hindia. Pada akhirnya, Yamamoto secara
tidak langsung mengancam untuk mengundurkan diri bila dirinya tidak berhasil
melaksanakan agenda-agenda yang disusunnya.
Keprihatinan
Yamamoto yang paling utama adalah kapal-kapal induk Amerika yang masih tersisa,
dan menurutnya harus dihancurkan karena merupakan penghalang utama bagi
kesuksean kampanye militer secara menyeluruh. Keprihatinan ini jelas terbukti
setelah terjadi Serangan Udara Doolittle terhadap Tokyo (18 April 1942) yang
dilakukan pesawat-pesawat B-25 USAAF dari kapal induk USS Hornet. Walaupun
secara militer dianggap tidak penting, serangan udara ini sempat mengejutkan
orang Jepang secara psikologis dan menunjukkan kelemahan pertahanan udara di
sekeliling pulau-pulau utama di Jepang.[13] Satu-satunya cara menihilkan
ancaman ini adalah dengan menenggelamkan kapal induk Amerika Serikat dan
merebut Midway, satu-satunya kepulauan strategis di Pasifik timur selain
Hawaii. Yamamoto beralasan bahwa operasi militer terhadap pangkalan kapal induk
utama di Pearl Harbor akan mengurangi kemampuan Amerika Serikat untuk
berperang. Namun, mengingat begitu kuatnya supremasi udara Amerika yang
berpangkalan di Hawaii, pangkalan Amerika diputuskannya untuk tidak diserang
secara langsung.Sebagai gantinya, Yamamoto memilih Midway yang terletak di
ujung barat laut rangkaian Kepulauan Hawaii, sekitar 1.300 mil (2,100 km) dari
Oahu. Midway tidak begitu penting dalam rencana perang Jepang, namun pihak
Jepang merasa Amerika Serikat akan menganggap Midway sebagai pos terdepan
menuju Pearl Harbor yang dianggap penting, dan karena itu akan dipertahankan
dengan kuat.Amerika Serikat memang menganggap Midway sebagai pos yang penting;
setelah pertempuran usai, pendirian pangkalan kapal selam Amerika Serikat di
Midway memungkinkan kapal selam yang berpangkalan di Pearl Harbor untuk mengisi
bahan bakar serta perbekalan, dan memperpanjang radius operasi hingga 1.200 mil
(1,900 km). Sebuah lapangan udara di Midway dipakai untuk melayani titik
perhentian paling depan untuk serangan pesawat pengebom ke Kepulauan Wake.
Rencana Yamamoto

Atol
Midway, beberapa bulan sebelum pertempuran. Dalam foto, sebelah depan adalah
Pulau Timur (lapangan udara), di belakangnya agak ke barat adalah Pulau Sand
lebih lebih besar.
Sama
halnya dengan perencanaan perang angkatan laut Jepang selama Perang Dunia II,
rencana pertempuran Yamamoto sangatlah rumit. Selain itu, rencana yang disusun
Yamamoto didasarkan data intelijen yang optimis, dan memperhitungkan USS
Enterprise dan USS Hornet (keduanya membentuk Gugus Tugas 16) sebagai kapal
induk yang tersisa untuk Armada Pasifik Amerika Serikat waktu itu. Kapal induk
USS Lexington sudah tenggelam, sementara USS Yorktown rusak berat (dan pihak
Jepang percaya sudah tenggelam) di Pertempuran Laut Koral sebulan sebelumnya.
Pihak Jepang juga tahu bahwa USS Saratoga sedang menjalani perbaikan di Pantai
Barat setelah menderita kerusakan akibat tertembak torpedo dari sebuah kapal
selam.
Meskipun
demikian, hal yang paling penting adalah keyakinan Yamamoto bahwa Amerika
Serikat sudah mengalami demoralisasi akibat kekalahan berturut-turut enam bulan
sebelumnya. Yamamoto berpikir bahwa dirinya dapat memancing armada Amerika
Serikat ke dalam situasi yang fatal.Ia membuat kapal-kapalnya saling berpencar
(terutama kapal tempur yang dimilikinya) hingga sangat kecil kemungkinan
kapal-kapalnya ditemukan kapal-kapal Amerika sebelum pertempuran berlangsung.
Kapal-kapal tempur dan kapal penjelajah Yamamoto akan membuntuti kapal induk di
bawah Laksamana Nagumo Chūichi dalam jarak beberapa ratus mil. Armada Jepang
dimaksudkan untuk menghancurkan semua kapal dalam armada Amerika Serikat yang
mendekat ke Midway, setelah mereka sudah cukup menjadi lemah akibat serangan
kapal induk di bawah komando Nagumo, dan siap dihabisi dalam duel meriam di
tengah hari,seperti halnya doktrin pertempuran yang umum dimiliki sebagian
besar angkatan laut di dunia.
Tanpa
sepengetahuan Yamamoto, Amerika Serikat telah memecahkan sandi angkatan laut
Jepang (disebut JN-25 oleh Amerika Serikat). Penekanan Yamamoto pada formasi
kapal yang saling terpencar juga berarti di antara formasi kapal tidak dapat
saling membantu. Meskipun kapal induk diharapkan menjadi tulang punggung
serangan dan harus mampu menahan serangan balasan Amerika, kapal-kapal perang
yang jauh lebih besar dari kapal-kapal perusak yang melindungi armada Nagumo
hanyalah dua kapal tempur dan tiga kapal penjelajah. Sebenarnya armada Yamamoto
dan Kondo masih memiliki dua kapal induk ringan, lima kapal tempur, dan enam
kapal penjelajah, namun tidak ada satu pun di antaranya yang dikirim ke
Midway.Jauhnya jarak antara kapal-kapal pengawal dan kapal induk juga berdampak
serius terhadap pertempuran. Kapal-kapal perang berukuran besar dalam armada
Yamamoto dan Kondo membawa pesawat pengintai yang tidak bisa dipakai oleh
Nagumo.
Persiapan
pertempuran
Pembangunan kekuatan Amerika
Serikat

USS
Yorktown di Pearl Harbor, beberapa hari sebelum pertempuran berlangsung.
Dalam
usaha menyiapkan diri melawan kekuatan musuh yang dapat mengerahkan empat
hingga lima kapal induk sekaligus, Laksamana Chester W. Nimitz (Panglima
Tertinggi, Kawasan Samudra Pasifik) membutuhkan semua kapal induk yang dimiliki
Amerika Serikat. Ia telah menyiapkan gugus tugas dua kapal induk (Enterprise
and Hornet) di bawah komando Laksamana Madya William Halsey. Namun Halsey
menderita psoriasis dan digantikan oleh Laksamana Muda Raymond A. Spruance
(komandan kapal pengawal Halsey).Nimitz juga secara tergesa-gesa memanggil
kembali gugus tugas yang dipimpin Laksamana Muda Frank Jack Fletcher dari
Kawasan Pasifik Barat Daya. Fletcher sampai di Pearl Harbor tepat waktu untuk
mengisi perbekalan dan diberangkatkan kembali.
Kapal
induk Yorktown sudah rusak parah akibat Pertempuran Laut Koral. Meskipun kapal
ini menurut perkiraan butuh beberapa bulan untuk perbaikan di Galangan Kapal
Angkatan Laut Selat Puget, lift-lift pesawat yang dimilikinya masih utuh dan
sebagian besar dek pesawat dalam kondisi baik.Galangan Kapal Angkatan Laut
Pearl Harbor bekerja nonstop, dan dalam 72 jam, Yorktown sudah kembali dalam
keadaan siap tempur,dan dianggap cukup layak untuk dua hingga tiga minggu di
laut, seperti yang dibutuhkan Nimitz.[28] Dek landas pacu ditambal, dan seluruh
bagian rangka dalam dipotong dan diganti, serta beberapa skuadron baru
dikerahkan dari Saratoga, namun mereka tidak memiliki waktu untuk
berlatih.Nimitz mengabaikan prosedur yang sudah ada dalam usahanya mempersiapkan
kapal induk ketiga sekaligus terakhir yang tersedia agar siap tempur. Bahkan
setelah Yorktown diberangkatkan, pekerjaan perbaikan masih terus berlangsung.
Perbaikan dilakukan oleh awak kapal reparasi USS Vestal (kapal ini juga rusak
akibat Serangan Pearl Harbor enam bulan sebelumnya) yang ikut dibawa oleh
Yorktown. Setelah tiga hari masuk dok kering di Pearl Harbor, Yorktown sudah
kembali bertugas lagi.
Di
Kepulauan Midway, USAAF menempatkan empat skuadron B-17 Flying Fortress bersama
beberapa B-26 Marauder. Korps Marinir memiliki sembilan belas pesawat pengebom
tukik SBD Dauntless, tujuh F4F-3 Wildcats, tujuh belas Vought SBU-3
Vindicators, dua puluh satu F2A-3 Brewster Buffalo, dan enam pesawat pengebom
torpedo Grumman TBF-1 Avenger yang diambil dari Skuadron Torpedo 8 (VT-8) yang
berpangkalan di USS Hornet.
Kelemahan Jepang

Akagi,
foto bulan April 1942 sebelum pertempuran. Sebagai kapal bendera, kapal induk
ini memimpin Pengeboman Pearl Harbor, Darwin, Rabaul, and Colombo.
Sementara
itu, Zuikaku yang selesai bertugas di Pertempuran Laut Koral, sedang berada di
Kure sambil menanti datangnya awak pesawat pengganti. Awak pesawat yang tidak
dapat dikumpulkan dengan segera merupakan kegagalan program pelatihan awak
Angkatan Laut Jepang yang sudah menunjukkan tanda-tanda tidak bisa mengganti
awak yang tewas atau luka. Instruktur dari Korps Udara Yokosuka ikut dikerahkan
untuk mengisi kekosongan.Shōkaku rusak berat akibat kejatuhan bom di Laut Koral
dan perlu waktu berbulan-bulan untuk memperbaikinya di dok kering. Walaupun ada
kemungkinan pesawat-pesawat terbang dari kapal induk yang rusak bisa dikerahkan
untuk Zuikaku, pihak Jepang tidak berusaha serius untuk menyiapkan kapal
induknya untuk bertempur. Sebagai akibatnya, Laksamana Nagumo hanya bisa
mengerahkan empat kapal induk: Kaga dan Akagi sebagai Divisi Kapal Induk 1
sementara Hiryū dan Sōryū sebagai Carrier Division 2. Kapal-kapal induk Jepang
telah terus-menerus beroperasi sejak 7 Desember 1941, termasuk di antara Darwin
dan penyerangan ke Colombo.
Pesawat
penyerang Jepang dikerahkan adalah pesawat pengebom tukik Aichi D3A1 dan
Nakajima B5N2 yang dapat berfungsi sebagai pesawat pengebom torpedo atau
sebagai pesawat pengebom biasa. Pesawat tempur utama yang dikerahkan adalah
Mitsubishi A6M2 Zero yang bisa terbang cepat dan berkemampuan manuver yang
tinggi. Kapal-kapal induk Kido Butai memang sedang menderita kekurangan pesawat
andalan. Berdasarkan berbagai alasan, produksi pesawat D3A telah dikurang
drastis, sementara produksi pesawat B5N sudah dihentikan secara total. Sebagai
akibatnya tidak ada pengganti untuk pesawat yang rusak atau hancur. Hal ini
juga berarti sebagian besar pesawat yang digunakan sepanjang operasi-operasi
bulan Juni 1942 adalah pesawat lama yang mulai digunakan sejak November 1941.
Walaupun dipelihara dengan baik, pesawat-pesawat tersebut hampir usang dan
makin tidak dapat diandalkan. Sebagai akibatnya, kapal-kapal induk Jepang
dikerahkan dengan total pesawat yang kurang dari seharusnya dan hanya sedikit
pesawat cadangan.
Persiapan
intelijen strategis Jepang sebelum pertempuran juga dalam keadaan kacau.
Kapal-kapal selam Jepang yang membentuk garis penjagaan terlambat tiba
(sebagian di antaranya disebabkan ketergesa-gesaan Yamamoto). Akibatnya,
kapal-kapal Amerika Serikat sampai di titik pertemuan mereka di timur laut
Midway (disebut Point Luck), dan luput dari deteksi Jepang. Usaha kedua untuk
pengintaian dilakukan dengan kapal amfibi bermesin empat Kawanishi H8K juga
dibatalkan. Menurut rencana yang merupakan bagian dari Operasi K, Kawanishi H8K
ditugaskan mengamat-amati Pearl Harbor sebelum pertempuran dimulai (dan
mendeteksi ada atau tidak adanya kapal induk Amerika Serikat di sana). Namun,
kapal-kapal selam Jepang yang dikirim untuk mengisi bahan bakar pesawat
pengintai mengetahui bahwa di lokasi yang direncanakan sebagai titik pengisian
ulang bahan bakar (teluk di Gosong Fregat Perancis yang sebelumnya selalu sepi)
sudah disatroni kapal-kapal perang Amerika Serikat (karena Jepang pernah
melakukan misi serupa pada bulan Maret).Oleh karena itu, sebelum pertempuran
berlangsung, Jepang tidak punya informasi tentang pergerakan kapal-kapal induk
Amerika Serikat.
Walaupun
demikian, intersepsi gelombang radio yang dilakukan Jepang mencatat peningkatan
aktivitas dan lalu lintas pesan kapal selam Amerika Serikat. Informasi ini
disampaikan ke Yamamoto sebelum pertempuran berlangsung. Namun rencana Jepang
tetap tidak diubah. Yamamoto yang berada di atas Yamato tidak memberitahukan
Nagumo tentang peningkatan aktivitas kapal selam Amerika Serikat karena tidak
ingin mengungkap lokasi dirinya, dan mengasumsikan Nagumo sudah diberi tahu
Tokyo tentang hal itu.Namun antena radio Nagumo tidak dapat menerima transmisi
gelombang panjang, dan ia sama sekali tidak tahu tentang pergerakan kapal-kapal
Amerika Serikat.
Pertempuran Midway
Serangan
udara pertama
Sembilan
B-17 yang berpangkalan di Midway diberangkatkan pukul 12.30 tanggal 3 Juni.
Empat jam kemudian mereka menemukan kelompok kapal-kapal angkut Jepang, 570 mil
di sebelah barat. Di bawah hujanan tembakan antipesawat, mereka menjatuhkan
bom-bom. Walaupun ada yang terkena, keseluruhan bom tidak ada yang mengenai
sasaran, dan tidak ada kerusakan serius yang ditimbulkannya. Selepas tengah
malam, Akebono Maru menjadi korban pertama setelah dihantam sebuah torpedo dari
pesawat amfibi PBY sekitar pukul 01.00..
Pukul
04.30, 4 Juni, Laksamana Madya Nagumo melancarkan serangan pertama ke Midway,
diberangkatkannya 36 pesawat pengebom tukik Aichi D3A dan 36 pesawat pengebom
torpedo Nakajima B5N di bawah pengawalan 36 pesawat tempur Zero. Pada saat yang
sama, Nagumo meluncurkan patroli udara bersenjata (CAP) beserta delapan pesawat
pengintai (satu pesawat dari kapal penjelajah berat Tone terlambat berangkat 30
menit akibat masalah teknis).
Misi
pengintaian Jepang disusun dengan ceroboh, terlalu sedikit pesawat yang
dikerahkan untuk meliput wilayah pencarian. Di bawah cuaca buruk, mereka
masing-masing terbang ke arah timur dan timur laut dari gugus tugas Jepang.
Disposisi salah Yamamoto telah menjadi penyebab masalah yang serius.
Radar
Amerika Serikat mendeteksi musuh pada jarak beberapa mil dan beberapa pesawat
pengadang segera diberangkatkan. Pesawat pengembom Amerika Serikat berangkat
tanpa dikawal. Pesawat tempur yang mengawal mereka ditinggal untuk
mempertahankan Midway. Pukul 06.20, pesawat terbang Jepang mengebom pangkalan
Amerika Serikat di Midway hingga rusak berat. Pilot-pilot tempur Marinir yang
berpangkalan di Midway menerbangkan pesawat-pesawat model lama yang terdiri
dari Grumman F4F-3 Wildcats dan Brewster F2A-3s Buffalo. Mereka mengadang
pesawat-pesawat Jepang dan menderita kerugian besar, walaupun sempat
menghancurkan empat pesawat pengebom Jepang dan paling sedikit tiga pesawat
Zero. Sebagian besar pesawat-pesawat Amerika Serikat ditembak jatuh dalam
beberapa menit pertama, beberapa pesawat rusak, dan hanya dua pesawat yang
masih bisa terbang. Total tiga pesawat Wildcat dan 13 pesawat Buffalo ditembak
jatuh. Tembakan senjata antipesawat Amerika Serikat begitu akurat dan intensif,
banyak pesawat Jepang yang rusak dan sepertiga dari pesawat-pesawat Jepang
hancur. Satu kali lagi serangan udara diperlukan untuk melumpuhkan pertahanan
Midway sebelum pasukan dapat didaratkan pada 7 Juni. Pesawat pengebom Amerika
Serikat masih dapat menggunakan pangkalan udara di Midway untuk mengisi bahan
bakar dan menyerang kekuatan invasi Jepang.
Pesawat
pengebom Amerika Serikat yang diberangkatkan dari Midway sebelum lapangan udara
diserang Jepang, melakukan beberapa kali serangan terhadap armada kapal induk
Jepang. Mereka terdiri dari enam TBF Avenger yang awaknya baru pertama kali
terjun dalam perang (dari VT-8 kapal induk Hornet) dan empat USAAC B-26
Marauder yang dipersenjatai dengan torpedo. Armada Jepang dapat mengatasi
serbuan mereka tanpa masalah. Semua pesawat penyerang hancur, hanya tersisa
satu TBF Avenger dan dua B-26. Hanya dua pesawat tempur Jepang yang tertembak
jatuh. Satu pesawat B-26 yang menjadi korban tembakan antipesawat dari Akagi
tidak berusaha menaikkan moncong pesawat, dan hampir menerjang anjungan Akagi.
Serangan tersebut membuat Nagumo memutuskan untuk mengirim sebuah serangan lagi
ke Midway. Keputusan Nagumo menyalahi perintah Yamamoto yang menetapkan
kekuatan udara harus disiapkan untuk dikerahkan sewaktu-waktu dalam operasi
antikapal.
Laksamana
Nagumo mematuhi doktrin kapal induk Jepang waktu itu, setengah dari
pesawat-pesawatnya tetap siap sedia. Pesawat cadangan Nagumo terdiri dari dua
skuadron pesawat pengebom tukik dan dua skuadron pesawat pengebom torpedo yang
disiapkan untuk menyerang kapal-kapal perang Amerika Serikat bila ditemukan. Pesawat
pengebom torpedo sudah dipersenjatai dengan torpedo, sementara pesawat pengebom
tukik belum dipersenjatai. Setelah mengetahui hasil serangan ke Midway, serta
rekomendasi dari pemimpin penerbangan pagi itu, pada pukul 07.15, Nagumo
memerintahkan pesawat-pesawat cadangan dipersenjatai dengan bom darat. Beberapa
sumber menulis bahwa pekerjaan memuat bom darat ke dalam pesawat sudah
berlangsung selama 30 menit, ketika pada pukul 07.40, pesawat pengintai dari
kapal penjelajah Tone memberi isyarat ditemukannya sebuah armada angkatan laut
Amerika yang cukup besar di sebelah timur. Namun, bukti-bukti baru menunjukkan
laporan tersebut tidak sampai ke tangan Nagumo hingga pukul 08.00 sehingga
pekerjaan mempersenjatai pesawat-pesawat dengan bom darat sudah berlangsung
selama 45 menit. Nagumo segera membatalkan perintahnya, dan meminta pesawat
pengintai untuk memastikan rincian kekuatan Amerika Serikat. Empat puluh menit
berlalu sebelum pesawat pengintai dari Tone membuka komunikasi radio tentang
adanya sebuah kapal induk dari Gugus Tugas 16 (keberadaan satu kapal induk
lainnya tidak diketahui kapal pengintai).

Kapal
Induk Hiryu diserang pesawat pengebom sekutu,
Nagumo berada dalam kebingungan. Laksamana Muda Yamaguchi
Tamon yang memimpin Divisi 2 Kapal Induk (Hiryū dan Sōryū) meminta Nagumo
segera menyerang dengan semua kekuatan yang dimiliki: 18 pesawat pengebom tukik
Aichi D3A2 yang masing-masing dimiliki oleh Sōryū dan Hiryū, serta setengah
dari pesawat patroli dipersenjatai (CAP) yang ada. Kesempatan Nagumo untuk
menyerang kapal-kapal Amerika, telah terhalang oleh akan segera kembalinya
pesawat-pesawat yang selesai menyerang Midway. Mereka perlu mendarat atau harus
mendarat darurat di laut. Operasi patroli bersenjata pada jam-jam sebelumnya
menyebabkan kesibukan terus menerus di dek pesawat. Pihak Jepang tidak memiliki
kesempatan untuk memberangkatkan pesawatnya. Beberapa pesawat yang ada di dek ketika
serangan dimulai adalah pesawat tempur patroli, atau (dalam hal Sōryū) pesawat
tempur yang dipakai untuk membantu patroli. Mempersiapkan dek pesawat dan
meluncurkan pesawat paling tidak butuh waktu 30–45 menit. Selain itu, bila
pesawat cadangan langsung diberangkatkan, Nagumo berarti menugaskan mereka
tanpa persenjataan antikapal yang layak. Mereka baru saja menyaksikan betapa
mudahnya menembak jatuh pesawat pengebom Amerika yang tidak dikawal. (Dalam
pertempuran ini, disiplin yang kurang dari pilot pesawat pengebom Jepang
membuat mereka membuang bom-bom ke laut, dan mencoba meladeni pesawat buru
sergap F4F Amerika Serikat dalam duel udara.)
Reaksi
Nagumo sesuai dengan doktrin karena doktrin kapal induk Jepang menuntut
serangan dilakukan bila telah direncanakan secara lengkap, dan tidak
diterimanya konfirmasi (hingga pukul 08.20) tentang keberadaan kapal induk
dalam armada Amerika Serikat. Selain itu, serangan udara Amerika pada pukul
07.53 membuatnya merasa perlu untuk melakukan serangan tambahan ke Midway. Pada
akhirnya Nagumo memilih untuk menanti hingga semua pesawat-pesawatnya mendarat,
dan memberangkatkan pesawat cadangan yang sudah dipersenjatai. Keputusan Nagumo
tidak dapat mengubah jalannya pertempuran. Pesawat-pesawat Amerika Serikat yang
siap memberi serangan fatal sudah dalam perjalanan. Mereka sudah diberangkatkan
Fletcher pada pukul 07.00. Nagumo tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Hal ini
merupakan kelemahan fatal dari Yamamoto yang secara teguh memegang doktrin
kapal perang tradisional.
Serangan ke armada Jepang

Letnan Muda George Gay (kanan), satu-satunya penerbang yang
selamat dari skuadron TBD Devastator VT-8, di depan pesawatnya, 4 Juni 1942.

Pesawat Devastator dari Skuadron Torpedo 6 (VT-6) di atas
USS Enterprise bersiap untuk lepas landas.
Sementara pihak Jepang dalam dilema, pesawat-pesawat
Amerika Serikat yang berpangkalan di kapal induk sudah diberangkatkan.
Laksamana Fletcher yang memegang komando di Yorktown memerintahkan Spruance
untuk menyerang Jepang saat dirasakan memungkinkan. Keputusan ini dibuat
Fletcher berdasarkan laporan dari kapal pengebom patroli PBY yang melihat
armada Jepang pada dini hari, Spruance sudah memberi perintah "Lancarkan
serangan" pada sekitar pukul 06.00, dan menugaskan Panglima Tertinggi
Halsey dan Kapten Miles Browning untuk menyusun perincian dan mengawasi
keberangkatan. Beberapa menit sesudah pukul 07.00, pesawat pertama berangkat
dari kapal induk Enterprise dan Hornet di bawah komando Spruance. Sekembalinya
dari misi penerbangan intai, Fletcher langsung mengikuti dengan memberangkatkan
pesawat-pesawat dari Yorktown pada pukul 08.00. Pada saat itu, Spruance memberi
perintah kedua yang sangat krusial, hantam sasaran, menyerang musuh secepat
mungkin dengan apa saja yang dimiliki lebih penting daripada serangan terkoordinasi
berbagai jenis pesawat (pesawat tempur, pengebom, atau torpedo). Sebagai
akibatnya, skuadron Amerika menyerang tidak memakai rencana, tetapi dilakukan
berulang-ulang dalam berbagai cara, serta menyerang dalam berbagai kelompok
yang berbeda. Hal ini mengurangi keefektifan serangan Amerika, dan memperbesar
kerugian pihak Amerika Serikat. Namun secara tidak sengaja, kemampuan Jepang
untuk melakukan serangan balasan juga berkurang. Nagumo beserta dek
kapal-kapalnya berada dalam keadaan mudah diserang.
Walaupun posisi musuh sudah diberi tahu, pesawat-pesawat
dari kapal induk Amerika Serikat menemui kesulitan menemukan sasaran. Pada
akhirnya, mereka melihat kapal induk Jepang dan mulai menyerang pada pukul
09.20, diawali oleh Skuadron Torpedo 8 (VT-8 dari Hornet), dan diikuti VT-6
(dari Enterprise) pada pukul 09.40. Tanpa kawalan pesawat tempur, semua TBD
Devastator dari VT-8 ditembak jatuh tanpa sempat membuat kerusakan pada kapal
musuh. Satu-satunya awak yang selamat adalah Letnan Muda George H. Gay, Jr.. Skuadron
Torpedo 6 menemui nasib yang sama, semua sasaran luput. Kemampuan torpedo yang
kurang baik termasuk salah satu penyebab kegagalan. Patroli udara bersenjata
Jepang yang terdiri dari pesawat-pesawat Mitsubishi A6M2 "Zero" yang
berkecepatan tinggi, hanya perlu waktu sebentar untuk menghabisi pesawat TBD
Devastator yang kurang dipersenjatai, tidak dikawal, dan terbang lambat.
Walaupun semua TBD Devastator ditembak jatuh, pertama, mereka membuat
kapal-kapal induk Jepang sibuk, dan tidak sempat meluncurkan serangan balasan.
Kedua, serangan mereka membuat patroli udara bersenjata Jepang keluar dari
posisinya. Ketiga, pesawat-pesawat Zero menjadi kehabisan amunisi dan bahan
bakar. Munculnya serangan ketiga dari pesawat torpedo skuadron VT-3 yang datang
dari tenggara pada pukul 10.00 dengan cepat menarik sebagian besar pesawat
patroli bersenjata Jepang ke arah kuadran tenggara armada. Disiplin yang lebih
baik, dan pengerahan semua Zero yang dimiliki, mungkin dapat mendorong
keberhasilan Nagumo.
Secara kebetulan, pada saat yang bersamaan dengan
terlihatnya pesawat dari skuadron VT-3 oleh pihak Jepang, dua formasi terpisah
(dari total tiga skuadron) pengebom tukik SBD Dauntless mendekati armada Jepang
dari arah timur laut dan barat daya. Bahan bakar mereka sudah hampir habis
karena harus berputar-putar mencari musuh. Walaupun demikian, komandan skuadron
C. Wade McClusky, Jr. dan Max Leslie memutuskan untuk terus mencari musuh.
Secara kebetulan, mereka menemukan kapal penjelajah Jepang Arashi yang sedang
berlayar dengan kecepatan penuh untuk bergabung dengan armada kapal induk
Nagumo setelah gagal meledakkan kapal selam Amerika Serikat Nautilus dengan bom
laut. Sebelumnya, Nautilus menyerang kapal tempur Kirishima, namun gagal
Chester Nimitz memuji keputusan untuk meneruskan pencarian
yang diambil McClusky, keputusannya "menentukan nasib gugus tugas kapal
induk kita dan pasukan kita di Midway..." Pesawat pengebom tukik Amerika
tiba pada saat yang tepat untuk menyerang. Pesawat-pesawat tempur Jepang lengkap
dengan persenjataannya memenuhi dek hanggar, selang bahan bakar malang
melintang di atas dek karena operasi pengisian bahan bakar dilakukan secara
tergesa-gesa. Perubahan perintah yang dapat terjadi setiap saat menyebabkan bom
dan torpedo ditumpuk di sekitar hanggar, dan bukan disimpan dengan aman di
ruang amunisi. Keadaan ini membuat kapal induk Jepang dalam keadaan rawan
serangan.
Mulai pukul 10.22, pesawat-pesawat dari Enterprise berulang
kali mengenai Kaga yang mereka jadikan sasaran. Di sebelah utara, empat menit
kemudian, Akagi terkena bom yang dijatuhkan pesawat pengebom dari Enterprise.
Pesawat-pesawat dari Yorktown mengincar Sōryū. Secara bersamaan, skuadron
torpedo VT-3 menjadikan Hiryū sebagai sasaran. Hiryū sedang terjepit di antara
Sōryū, Kaga, dan Akagi, namun lagi-lagi pesawat torpedo Amerika gagal
menghantam sasaran. Pesawat pengebom tukik ternyata lebih beruntung. Hanya
dalam enam menit, pesawat-pesawat SBD menjadikan sasaran-sasaran mereka dilalap
api. Akagi terkena satu bom yang melubangi dek hanggar bagian atas, dan
meledakkan bahan bakar pesawat dan amunisi. Satu bom yang luput meledak di
dalam air dekat buritan hingga dek pesawat melengkung ke atas, serta kemudi
kapal rusak parah.Sōryū kejatuhan tiga bom di dek hanggar, Kaga kejatuhan
paling sedikit empat, mungkin lebih. Ketiga kapal induk tersebut segera tidak
dapat lagi bertempur, ditinggalkan awak kapal, dan dibocorkan hingga tenggelam.
Serangan balasan Jepang

Yorktown dihantam oleh torpedo yang diluncurkan pesawat
Jepang.
Hiryū, satu-satunya kapal induk Jepang yang tersisa, tidak
membuang-buang waktu, dan segera melancarkan serangan balasan. Serangan
gelombang pertama pengebom tukik Jepang membuat Yorktown rusak berat. Tiga buah
bom menghantam bagian boiler hingga Yorktown tidak lagi bisa bergerak. Namun
tim pengendali kerusakan bisa mengatasinya (dalam waktu kira-kira satu jam)
dengan efektif. Serangan gelombang kedua dari pesawat-pesawat pengebom torpedo
kembali bisa dihadapi oleh Yorktown. Walaupun pihak Jepang berharap dapat mengurangi
kekalahan dengan mencoba menenggelamkan dua kapal induk Amerika Serikat dalam
dua kali serangan, Yorktown masih bisa mengatasi serangan Jepang.
Pesawat-pesawat Jepang yang datang dalam gelombang kedua bahkan menyangka
Yorktown sudah tenggelam. Ketika menyerang Yorktown, mereka menyangka sedang
menyerang Enterprise. Setelah terkena dua kali tembakan torpedo, mesin Yorktown
mati, dan condong 26°ke arah lambung kiri. Yorktown tidak lagi bisa dipakai
bertempur, dan memaksa Laksamana Fletcher untuk memindahkan staf komando ke
kapal penjelajah berat Astoria. Dua kapal induk dari Gugus Tugas 16 di bawah
komando Spruance selamat dari kerusakan.
Berita tentang keberhasilan dua gelombang serangan yang
"masing-masing" menenggelamkan sebuah kapal induk Amerika Serikat,
meningkatkan moral prajurit Kido Butai. Pesawat-pesawat Jepang yang tersisa
dikumpulkan di atas Hiryū. Mereka dipersiapkan untuk menyerang kapal induk
Amerika Serikat yang menurut perkiraan pihak Jepang hanya satu yang tersisa.

Hiryū, beberapa saat sebelum tenggelam.
Menjelang sore, pesawat pengintai dari Yorktown menemukan
lokasi Hiryū. Kapal induk Enterprise segera melancarkan serangan terakhir yang
terdiri dari pesawat-pesawat pengebom tukik (termasuk 10 pesawat pengebom dari
Yorktown). Serangan mereka tepat mengenai sasaran. Hiryū terbakar hebat. Lebih
dari selusin pesawat Zero tidak mampu mempertahankan Hiryū. Laksamana Madya
Yamaguchi memilih mati tenggelam bersama Hiryū, dan membuat Jepang harus
kehilangan salah satu dari pelaut karier terbaiknya. Serangan pesawat-pesawat
yang berpangkalan di Hornet terlambat diberangkatkan karena kesalahan
komunikasi. Mereka berkonsentrasi pada kapal-kapal pengawal yang tersisa, namun
tidak ada hasilnya.
Setelah hari mulai gelap, kedua belah pihak menghitung
kerugian dan membuat rencana sementara untuk kelanjutan pertempuran. Laksamana
Fletcher yang terpaksa meninggalkan Yorktown karena sudah rusak berat, merasa
tidak dapat menjalankan komando dari kapal penjelajah, dan mengalihkan komando
operasi ke tangan Spruance. Walaupun tahu pihak Amerika Serikat telah menang,
Spruance masih tidak tahu jumlah kapal-kapal Jepang yang tersisa. Ia memutuskan
untuk tetap menjaga Midway dan kapal-kapal induknya. Mengingat para penerbang
yang telah melakukan misi terbang jauh, ia berusaha menghadapi Nagumo saat
siang, dan bertahan ketika malam tiba. Untuk menghindari kemungkinan bentrok
dengan armada Jepang pada malam hari, Spruance berubah haluan dan memundurkan
armadanya ke timur, dan kembali ke arah barat menuju musuh pada tengah malam.
Di lain pihak, Yamamoto mulanya memutuskan untuk meneruskan
pertempuran, dan mengirim sisa-sisa kapalnya ke arah timur untuk mencari kapal
induk Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, sebuah kapal induk
ditugaskannya untuk membombardir Midway. Kapal-kapal Jepang gagal menemukan
kapal-kapal Amerika karena Spruance memutuskan untuk mundur sementara ke arah
timur. Setelah itu, Yamamoto memerintahkan armadanya untuk mundur ke arah
barat.
Kapal-kapal pencari Amerika Serikat gagal menemukan armada
Jepang pada tanggal 5 Juni. Serangan sore hari hampir gagal menemukan armada
Yamamoto dan tidak mengenai sasaran. Pesawat-pesawat penyerang kembali ke kapal
induk setelah hari gelap, dan Spruance memerintahkan Enterprise dan Hornet
menyalakan lampu-lampu sorot untuk membantu pendaratan..
Pada 02.15 tanggal 5 Juni–6 Juni, Tambor di bawah komando
Letnan Kolonel Laut John Murphy memberikan kontribusi bagi hasil akhir
pertempuran. Ia (bersama perwira pelaksana, Ray Spruance, Jr.) melihat sejumlah
kapal, namun tidak bisa mengidentifikasi lawan atau kawan (khawatir mungkin
bukan kapal lawan, hingga menahan tembakan). Tambor melapor ke Laksamana Robert
English, Komandan Armada Kapal Selam, Armada Pasifik (COMSUBPAC) yang kemudian
diteruskan ke Spruance via Nimitz. Spruance tidak tahu lokasi sebenarnya armada
Yamamoto, dan menyangka kapal-kapal tersebut adalah armada invasi ke Midway. Ia
berusaha mengadangnya di sekitar 100 mil laut (185 km) timur laut Midway. Malam
berlalu tanpa terjadi bentrokan.
Kapal-kapal Jepang yang dilihat Tambor adalah unit
bombardemen Yamamoto yang terdiri dari empat kapal penjelajah dan dua kapal
perusak. Pada pukul 02.55, mereka diperintahkan untuk mundur ke barat.
Kehadiran Tambor juga diketahui kapal-kapal Jepang. Mogami dan Mikuma
berbenturan ketika keduanya berbelok untuk menghindari Tambor. Kerusakan Mogami
di bagian lunas merupakan satu-satunya prestasi yang dicapai delapan belas
kapal selam Amerika Serikat yang dikerahkan dalam pertempuran ini. Pada pukul
04.12 langit cukup terang bagi untuk mengenali kapal-kapal tersebut adalah
kapal Jepang, namun Murphy memerintahkan Tambor untuk menyelam. Pada pukul
06.00, Murphy melaporkan dua kapal penjelajah kelas Mogami berlayar ke arah
barat, dan menempatkan Spruance paling sedikit 100 mil laut (185 km) dari
posisi kapal-kapal Jepang. Spruance mungkin beruntung tidak mengejar
kapal-kapal Jepang. Bila bertemu dengan kapal-kapal berat Yamamoto, termasuk
Yamato dalam kegelapan, kapal-kapal penjelajah Spruce akan kewalahan, dan
kapal-kapal induknya tidak berdaya. Pada waktu itu, hanya Fleet Air Arm milik
Britania yang dapat beroperasi di waktu malam.
Sewaktu mencoba menyelamatkan Yorktown, kapal perusak
Hammann dan Yorktown terkena torpedo yang diluncurkan dari kapal selam I-168.
Sepanjang dua hari berikutnya, sisa-sisa kapal Jepang
mendapat serangan dari pesawat-pesawat yang berpangkalan di Midway, diteruskan
oleh pesawat-pesawat dari kapal induk Spruance. Mikuma akhirnya tenggelam,
sementara Mogami selamat dari kerusakan berat dan kembali ke Jepang untuk
diperbaiki. Kapten Richard E. Fleming, penerbang dari Korps Marinir dianugerahi
Medal of Honor secara anumerta atas keberaniannya menyerang Mikuma.
Sementara itu, Amerika Serikat berusaha menyelamatkan
Yorktown. USS Vireo sedang menariknya pada sore 6 Juni ketika Yorktown terkena
dua torpedo yang diluncurkan dari kapal selam Jepang I-168. Hanya ada sedikit
korban di atas Yorktown karena sebagian besar awak sudah diungsikan sebelumnya.
Namun torpedo ketiga menghantam USS Hammann yang sedang memberikan listrik
tambahan untuk Yorktown. Hammann pecah menjadi dua dan 80 awak gugur. Sebagian
besar korban tewas disebabkan meledaknya bom laut yang dibawa Hammann. Yorktown
bertahan hingga pukul 06.00 pagi 7 Juni sebelum akhirnya tenggelam.

Sewaktu
mencoba menyelamatkan Yorktown, kapal perusak Hammann dan Yorktown terkena
torpedo yang diluncurkan dari kapal selam I-168.
Pasca
pertempuran
Setelah
menang telak, dan pengejaran terhadap kapal-kapal Jepang makin berbahaya di
dekat Kepulauan Wake, armada Amerika Serikat ditarik mundur. Sejarawan Samuel
E. Morison pada tahun 1949 menulis bahwa Spruance menjadi sasaran kritik karena
tidak mengejar kapal-kapal Jepang yang sedang mundur, dan memungkinkan mereka
untuk melarikan diri. Pada tahun 1975, Clay Blair menulis bila Spruance
mengejar, kapal-kapalnya akan bertemu dengan armada Yamamoto, termasuk Yamato
pada malam hari. Keadaan ini menguntungkan Jepang kapal-kapal penjelajah
Jepang, sementara Spruance tidak dapat meluncurkan pesawat-pesawatnya. Jepang
kehilangan empat dari enam kapal induk yang dimiliki beserta sejumlah besar
penerbang yang sangat terlatih hingga mengakhiri ekspansi Jepang di Pasifik.
Kapal induk Jepang yang tersisa hanyalah Shōkaku dan Zuikaku. Kapal induk
Jepang yang lainnya, Ryūjō, Junyo, dan Hiyo berasal dari kelas di bawahnya.
Pada 10
Juni, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memberikan konferensi di hadapan perwira
penghubung tentang hasil pertempuran secara tidak lengkap. Alasannya, kerugian
yang sebenarnya merupakan rahasia militer yang tidak perlu diketahui semua
perwira. Hanya Kaisar Hirohito yang diberi tahu tentang jumlah kapal induk yang
tenggelam dan pilot yang gugur. Kaisar juga memilih untuk tidak segera
menyampaikan hal ini ke angkatan darat. Para pimpinan angkatan darat untuk
beberapa waktu masih percaya armada Jepang dalam keadaan siap tempur.
Dampak
Pertempuran Midway
Pertempuran
ini sering disebut sebagai "titik balik dalam Perang Pasifik". Namun
Jepang terus mencoba bergerak maju di Pasifik Selatan. Amerika Serikat masih
perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah kekuatan lautnya yang masih berimbang
dengan Jepang menjadi supremasi di laut. Midway sendiri tidak mengubah jalannya
peperangan seperti halnya Pertempuran Salamis atau Pertempuran Trafalgar.
Walaupun demikian, Midway merupakan kemenangan telak pertama Sekutu melawan
Jepang yang sebelumnya tidak terkalahkan. Setelah Pertempuran Laut Koral
berakhir dengan tidak jelas pemenangnya dan Pertempuran Midway, inisiatif
strategi Jepang menjadi tumpul, dan Amerika Serikat merebut kemampuan ofensif
Jepang. Pertempuran Midway membuka jalan bagi kampanye militer berikutnya di
sekitar Kepulauan Solomon dan Guadalkanal yang dimenangkan Sekutu setelah
secara berkepanjangan menghabiskan tenaga musuh dengan segala kekuatan militer
yang ada.
Pertempuran
Midway menunjukkan pentingnya usaha-usaha memecahkan sandi musuh dan pelatihan
kriptologi angkatan laut sebelum pertempuran berlangsung. Usaha pemecahan sandi
musuh terus berlanjut di medan perang Pasifik dan Atlantik. Pemecahan sandi
musuh terbukti sangat penting, misalnya pesawat Laksamana Yamamoto dapat
ditembak jatuh berkat bantuan analisis sandi angkatan laut.
Pertempuran
Midway secara permanen merusakkan daya serang Angkatan Laut Jepang, dan
kehilangan kemampuan operasional pada tahap yang menentukan terbukti fatal.
Secara khusus, pertempuran ini mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki terhadap armada kapal induk Jepang, begitu parah hingga mereka tidak
dapat lagi membentuk armada kapal induk berukuran besar dengan awak pesawat
yang terlatih baik. Pemimpin perang Jepang tidak memiliki persiapan untuk
menggantikan kapal-kapal yang hancur, serta penerbang atau pelaut yang tewas.
Di Midway, total penerbang Jepang yang tewas dalam sehari sama dengan total
penerbang yang dihasilkan program pelatihan pilot sebelum perang dalam setahun.
Pengalaman tempur mereka juga tidak mungkin tergantikan. Setelah Pertempuran
Solomon Timur dan Pertempuran Santa Cruz, jumlah awak pesawat veteran makin
menipis. Juga tidak kalah pentingnya, Jepang kehilangan empat kapal induk, dan
kekuatan kapal induk Jepang tidak pulih hingga 1944. Pada Pertempuran Laut
Filipina, walaupun Jepang sepertinya sudah membangun kembali kekuatan kapal
induk mereka, pesawat-pesawat Jepang sebagian diterbangkan oleh pilot yang
tidak berpengalaman sehingga kekuatan udara Jepang tidak seampuh sebelum
Pertempuran Midway.
Pada saat
yang bersamaan, Angkatan Laut Amerika Serikat mengerahkan lebih dari dua lusin
armada dan kapal induk ringan, serta berbagai kapal induk pengawal. Pada 1942,
program pembangunan kapal Amerika Serikat telah memasuki tahun ketiga. Program
ini dimulai dengan adanya Undang-Undang Vinson Kedua yang bertujuan membangun
angkatan laut Amerika Serikat yang lebih besar dari Jepang. Berbeda halnya
dengan Jepang, sebagian besar awak pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat
selamat dari Pertempuran Midway dan pertempuran lainnya pada tahun 1942.
Ditambah dengan adanya peningkatan program pelatihan, Amerika Serikat dapat
menambah jumlah penerbang berpengalaman untuk mengimbangi jumlah kapal perang
dan pesawat militer yang makin meningkat.
Pencarian
kapal-kapal yang tenggelam

Mikuma
beberapa saat sebelum tenggelam.
Kedalaman
laut di lokasi pertempuran bisa mencapai 5.200 m hingga sangat sulit mencari
kapal-kapal yang karam. Pada 19 Mei 1998, Robert Ballard bersama tim ilmuwan
dan veteran perang Midway (termasuk partisipan dari Jepang) menemukan dan
memotret Yorktown di dasar laut. Kapal ini masih sangat utuh untuk sebuah kapal
yang tenggelam pada tahun 1942. Walaupun sudah lama tenggelam, peralatan dan
bahkan cat kapal masih bisa terlihat.
Usaha
Ballard menemukan kapal induk Jepang tidak berhasil. Pada September 1999,
ekspedisi gabungan antara Nauticos Corp. dan Kantor Oseanografi Angkatan Laut
Amerika Serikat diberangkatkan untuk mencari kapal induk Jepang. Dengan memakai
teknik renavigasi canggih sesuai log kapal selam USS Nautilus, ekspedisi ini
menemukan potongan besar puing kapal yang kemudian diidentifikasi berasal dari
dek hanggar bagian atas Kaga. Namun puing kapal utama masih belum ditemukan.




0 komentar:
Posting Komentar